MANOKWARI - Dekan Fakultas Hukum Universitas Caritas Indonesia, Dr. Henrikus Renjaan, SH., LL.M, menilai bahwa perdebatan mengenai Pasal 12 Ayat 11 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) perlu dimaknai sebagai refleksi atas penegakan hukum di Indonesia.
Pasal tersebut mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian, maka masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan.Menurut Dr. Henrikus, ketentuan ini seharusnya tidak hanya berlaku bagi kepolisian, tetapi juga bagi kejaksaan.
“Jika dalam 14 hari kejaksaan juga tidak menindaklanjuti laporan yang masuk, maka harus ada mekanisme lain yang menjamin kepastian hukum bagi masyarakat, ” ujarnya, Minggu (09/02/2025).
Ia menekankan bahwa semangat dari ketentuan ini adalah penerapan asas peradilan yang murah dan cepat, yaitu asas yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara dengan biaya terjangkau, cepat, dan sederhana. Prinsip ini, menurutnya, merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap warga negara dalam mencari keadilan.
Selain itu, aturan tersebut juga bertujuan untuk menegakkan asas kepastian hukum, yang merupakan prinsip dasar dalam negara hukum guna memastikan bahwa aturan yang dibuat bersifat jelas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara.
Asas Dominus Litis dan Kewenangan Penuntutan
Terkait perdebatan mengenai penerapan asas dominus litis oleh kejaksaan, Dr. Henrikus menjelaskan bahwa asas ini menempatkan jaksa sebagai pihak yang memiliki kewenangan mutlak dalam tahap penuntutan.
“Penuntut umum adalah satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan serta penyelesaian perkara pidana, ” jelasnya.Ia menambahkan bahwa hakim tidak memiliki kewenangan untuk meminta agar suatu perkara diajukan kepadanya.
“Hakim hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan dari penuntut umum, ” tegasnya.
Oleh karena itu, dalam sistem hukum pidana, jaksa memiliki kendali penuh terhadap perkara yang masuk dalam tahap penuntutan, termasuk keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan penuntutan berdasarkan cukup atau tidaknya bukti, status hukum suatu peristiwa, atau alasan lain seperti demi kepentingan hukum.
Meski demikian, baik jaksa maupun kepolisian memiliki kewenangan dalam menerapkan asas dominus litis sesuai tahapannya masing-masing dalam proses hukum. Jika kepolisian bertindak sebagai penyidik dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, maka mereka memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke tahap penuntutan atau dihentikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
Dr. Henrikus juga menyoroti kemungkinan tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan jika asas dominus litis diakomodasi dalam RUU KUHAP. Menurutnya, jika kejaksaan diberikan kewenangan yang lebih besar dalam menentukan kelanjutan suatu perkara sejak tahap awal, hal ini dapat memicu ketegangan antara kejaksaan dan kepolisian.
"Jika tidak diatur dengan baik, penguatan asas dominus litis dalam RUU KUHAP bisa membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang, karena kejaksaan akan memiliki kewenangan yang berlebihan, " katanya.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pembagian kewenangan harus tetap mengacu pada ketentuan yang sudah ada dalam KUHAP untuk menghindari konflik antar-lembaga dan memastikan proses penegakan hukum berjalan secara profesional dan transparan. (MIR)